SEJARAH PERJUANGAN SOEGIJAPRANATA TERHADAP BANGSA INDONESIA
Oleh: Ida Nur Khasanah
Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang abdi dalem, dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim abangan, dan kakek Soegija, Soepa, seorang kyai. Namanya Soegija diambil dari kata sugih dalam bahasa jawa yang berarti "kaya". Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, Yogyakarta. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai abdi dalem Keraton Ngayogyokarata Hadiningrat untuk Sultan Hamengkubuwono VII, sementara istrinya merupakan pedagang ikan, keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.Soegija anak yang berani dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil. Soegija mulai belajar di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian pindah sekolah di Wirogunan, Yogyakarta. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan. Di luar sekolah ia belajar gamelan dan menembang bersama orang tuanya. Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans Van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekolah Yesuit di Muntilan, sebuah asrama untuk calon guru.
Biarpun sekolahannya itu
tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh
teman-temannya. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pr. L. van Rijckevorsel,
bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya
memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya
mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih
menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa
Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekan Soegija.
Ketika Soegija mulai
mempelajari pelajaran agama Katolik Soegija menjadi tertarik dengan soal
Tritunggal, dan meminta keterangan dari beberapa guru. Mertens membahas Tritunggal
berdasarkan karya Agustinus dari Hippo, Mertens menyatakan
bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab
pengetahuan manusia terbatas. Soegija
semakin tertarik dan minta agar dibabtis, Soegija
dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; ia mengambil nama baptis Albertus,
berdasarkan nama Albertus Magnus.
Pada tahun 1915
Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana
selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di seminari Xaverius.
Soegija lulus pada tahun 1919, setelah mempelajari bahasa
Perancis, Latin, Yunani dan sastra, kemudian ia meneruskan
pendidikannya di Uden, belanda.
Pada tanggal
27 September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan
Serikat Yesus. Ia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22 September 1922
dan dijadikan anggota Yesuit, Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan
patut.
Mulai pada tahun 1923 ia belajar filsafat di
Kolese Berchmann. Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas.
Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus
1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik
dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang
Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga
menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di Amsterdam pada
tahun 1924, untuk majalah berbahsa Jawa. Soegija
lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke
Hindia-Belanda.
Soegija tiba Muntilan
pada bulan September 1926 dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di
Kolese Xaverius. Soegija dijadikan seorang diaken pada bulan Mei 1931, pada tanggal
15 Agustus 1931, Soegija ditasbihkan, Setelah ditahbiskan, Soegija
menambahkan kata pranata, yang artinya "doa" atau
"harapan", di belakang namanya. pada tahun 1932, dan pada tahun 1933
ia menulis sebuah autobiografi, berjudul La Conversione di un Giavanese
(Konversi Seorang Jawa); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia,
Belanda, dan Spanyol.
Pada tanggal
8 Agustus 1933 Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di
Yogyakarta, dekat Kraton. ia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah
satu gurunya dari Xaverius. Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai
penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di
Hindia-Belanda.
Soegijapranata pergi
ke Semarang pada tanggal 30 September 1940, Dalam wilayah yang dipimpin
Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137
bruder (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330
biarawati (251 orang Eropa, 79 orang pribumi). Vikariat ini meliputi Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Magelang, Salatiga, Pati dan
Ambarwa.
Setelah Jepang
memasuki nusantara pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan
kolonial, pada tanggal 9 Maret 1942 Guberner-Jenderal Tjarda Van
Starkenboght Stachouwer dan pemimpin KNIL Jenderal Hein Ter Poorten menyerah. Ini
membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi
kualitas hidup orang non-Jepang. Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis
bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada
police, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan
yang terbakar ... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa
tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari
instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana rust en
order, tertib dan damai.
Setelah serangan bom
di hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan
Agustus 1945, orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia.
Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah
bendera Indonesia dikibarkan di depan Pastoran Gedangan. ia dan klerus lain
juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak
yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah
sakit.
Tahanan perang yang
mendarat di Indonesia pada bulan September 1945, Di Semarang memicu suatu pertempuran
antara pihak Jepang dan Republik yang mulai pada
tanggal 15 Oktober, orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil
senjata Jepang. Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat
di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara
dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, vikar apostolik
itu menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar, pihak
Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan
komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu,
menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata.
Ketika Belanda mulai
mengundurkan diri setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 Soegijapranata
mulai berusaha agar orang Katolik mendapat peran dalam pemerintahan. Bersama
I.J Kasimo, ia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan
dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya
berbagai partai Katolik sebagai Partai Katolik Indonesia. Soegijapranata dan
Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah berakhirnya perang
revolusi.
Pada bulan Mei 1960,
KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik
Indonesia yang berdaulat; surat permohonan ini dibalas Paus Yohanes XXIII,
dalam surat bertanggal 20 Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia
menjadi enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau Jawa, satu d Sumatra, satu
di Flores, satu di Sulawesi da Maluku, dan satu di
Kalimantan. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi
Uskup Agung, Ia diangkat pada tanggal 3 Januari 1961.
Pada tahun 1963 Bapak
Soegijapranata dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi, Soegijapranata dilarang
melaksanakan tugasnya. Pada tanggal 30 Mei 1963 Soegijapranata
meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan
Paus Paulus VI. Ia lalu pergi ke Nijmegen dan dirawat di
Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli;
perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal
22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl, Belanda; ia
mengalami serangan jantung tidak lama sebelum meninggal.
Karena Soekarno tidak
ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata
diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes
Alfrink. Soegijapranata dinyatakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada
tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat
jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia, pada tanggal 30 Juli
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.
3 komentar:
makasi materinya mbak ida :)
Sangat mengharukan
Sangat mengharukan
Posting Komentar