Sabtu, 08 September 2012

Sejarah Perjuangan Soegijapranata


SEJARAH PERJUANGAN SOEGIJAPRANATA TERHADAP BANGSA INDONESIA 
Oleh:   Ida Nur Khasanah
                                                                

            Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di Surakarta. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang abdi dalem, dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim abangan, dan kakek Soegija, Soepa, seorang kyai. Namanya Soegija diambil dari kata sugih dalam bahasa jawa yang berarti "kaya".  Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, Yogyakarta. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai abdi dalem Keraton Ngayogyokarata Hadiningrat untuk Sultan Hamengkubuwono VII, sementara istrinya merupakan pedagang ikan, keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.Soegija anak yang berani dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil. Soegija mulai belajar di sebuah Sekolah Angka Loro di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian pindah sekolah di Wirogunan, Yogyakarta. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan. Di luar sekolah ia belajar gamelan dan menembang bersama orang tuanya. Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans Van Lith untuk bergabung dengan sebuah sekolah Yesuit di Muntilan, sebuah asrama untuk calon guru.

            Biarpun sekolahannya itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pr. L. van Rijckevorsel, bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekan Soegija. 

Ketika Soegija mulai mempelajari pelajaran agama Katolik Soegija menjadi tertarik dengan soal Tritunggal, dan meminta keterangan dari beberapa guru. Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya Agustinus dari Hippo, Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.  Soegija semakin tertarik dan minta agar dibabtis, Soegija dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; ia mengambil nama baptis Albertus, berdasarkan nama Albertus Magnus.

Pada tahun 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di seminari Xaverius. Soegija lulus pada tahun 1919, setelah mempelajari bahasa Perancis, Latin, Yunani dan sastra, kemudian ia meneruskan pendidikannya di Uden, belanda.

Pada tanggal 27 September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus. Ia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit, Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan patut. 

 Mulai pada tahun 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann. Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di Amsterdam pada tahun 1924, untuk majalah berbahsa Jawa. Soegija lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia-Belanda.

Soegija tiba Muntilan pada bulan September 1926 dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Soegija dijadikan seorang diaken pada bulan Mei 1931, pada tanggal 15 Agustus 1931, Soegija ditasbihkan, Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata pranata, yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya. pada tahun 1932, dan pada tahun 1933 ia menulis sebuah autobiografi, berjudul La Conversione di un Giavanese (Konversi Seorang Jawa); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia, Belanda, dan Spanyol.

Pada tanggal 8 Agustus 1933 Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton. ia bertugas sebagai pembantu Pr. van Driessche, salah satu gurunya dari Xaverius. Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia-Belanda. 

Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30 September 1940, Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 bruder (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 biarawati (251 orang Eropa, 79 orang pribumi). Vikariat ini meliputi Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Magelang, Salatiga, Pati dan Ambarwa.

Setelah Jepang memasuki nusantara pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 Maret 1942 Guberner-Jenderal Tjarda Van Starkenboght Stachouwer dan pemimpin KNIL  Jenderal Hein Ter Poorten menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang. Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada police, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar ... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana rust en order, tertib dan damai. 

Setelah serangan bom di hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945, orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah bendera Indonesia dikibarkan di depan Pastoran Gedangan. ia dan klerus lain juga merawat misionaris Belanda yang baru dibebaskan; orang-orang ini banyak yang terluka dan sangat kurang gizi, sehingga ada yang harus dirawat di rumah sakit.

Tahanan perang yang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945, Di Semarang memicu suatu pertempuran antara pihak Jepang dan Republik yang mulai pada tanggal 15 Oktober, orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang. Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat, vikar apostolik itu menyatakan bahwa pihak Sekutu harus menghentikan pertempuran di luar, pihak Sekutu mengaku bahwa mereka tidak bisa, sebab mereka tidak kenal dengan komandan Jepang. Soegijapranata lalu menghubungi pihak Jepang dan, siang itu, menjadi perantara dalam pembuatan gencatan senjata. 

Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah Serangan Umum 1 Maret 1949 Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik mendapat peran dalam pemerintahan. Bersama I.J Kasimo, ia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai Partai Katolik Indonesia. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah berakhirnya perang revolusi.

Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang berdaulat; surat permohonan ini dibalas Paus Yohanes XXIII, dalam surat bertanggal 20 Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau Jawa, satu d Sumatra, satu di Flores, satu di Sulawesi da Maluku, dan satu di Kalimantan. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi Uskup Agung, Ia diangkat pada tanggal 3 Januari 1961.

Pada tahun 1963 Bapak Soegijapranata dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi, Soegijapranata dilarang melaksanakan tugasnya. Pada tanggal 30 Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan Paus Paulus VI. Ia lalu pergi ke Nijmegen dan dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di Steyl, Belanda; ia mengalami serangan jantung tidak lama sebelum meninggal.

Karena Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink. Soegijapranata dinyatakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.

                                                                               

3 komentar:

Unknown mengatakan...

makasi materinya mbak ida :)

Unknown mengatakan...

Sangat mengharukan

Unknown mengatakan...

Sangat mengharukan

Posting Komentar